Diambil dari: Pinterest
Ajaran dari aliran ini sangatlah relate dengan kehidupan sehari-hari apabila kita telaah lebih dalam. Dikatakan bahwa aliran ini dianggap sebagai mind hack untuk zaman modern. Tidak heran dikatakan demikian karena di dalamnya penuh dengan tips dan trik untuk mengatasi kegalauan yang sering terjadi khususnya pada generasi millennial. Bahkan topik-topik yang disuguhkan filsafat ini juga relevan dengan ajaran Islam.
Prinsip dasar etika Stoa adalah penyesuain diri terhadap hukum alam atau takdir. Hal ini mengarah pada ajaran untuk mencintai takdir, hal ini mengajarkan kita untuk ikhlas dan Ridho kepada Allah. Kaum stoic percaya bahwa di dunia ini ada hal yang bisa kita kendalikan dan dan tidak bisa kita kendalikan. Kita diberikan tips agar memiliki sikap menerima pada hal yang memang ada di luar kendali manusia.
Terkait hal-hal yang dapat kita kendalikan adalah sesuatu yang ada di dalam diri, yakni pikiran, nalar, pertimbangan, perkataan dan tindakan. Tentu sudah jelas apabila perasaan orang lain, rezeki yang di dapat orang lain, bukan merupakan sesuatu dalam kendali kita. Tidak pantaslah generasi Muslim millennial galau bila perasaannya tak terbalas, iri dengki melihat saudaranya diberi rezeki lebih oleh Allah. Hal itulah yang membuat penyakit hati dan ketidak bahagiaan mudah bertengger dalam diri. Naudzubillah.
Konsep takdir stoicism tersebut mirip dengan konsep tawakkal dalam Islam. Tawakkal menurut Nabi Muhammad adalah tidak risau pada hal yang tidak bisa kita kendalikan, bukannya pasrah. Nabi SAW menggambarkan apabila kita sudah mengikat kuda namun masih tetap hilang maka hal tersebut tidak perlu disesali karena memang sudah di luar kendali kita.
Etika stoicism mengajarkan kita untuk dapat dengan cerdas me-manage emosi negatif dalam diri kita. Sebagai seni hidup, stoicism tidak mengajarkan untuk mengejar kebahagiaan. Namun filsuf stoic lebih menekankan untuk dapat mereduksi emosi negatif, termasuk di dalamnya adalah galau, resah, marah dan lain sebagainya. Dalam Islam, konsep kebahagiaan adalah tiadanya gangguan, ketenangan dan kedamaian lebih ditekankan dari pada kebahagiaan. Jelasnya, dengan meredam emosi-emosi negatif maka mudahlah bagi kita untuk mengusir kegalauan yang haqiqi dan sering terjadi.
Asal galau adalah berdasarkan kita sendiri, persepsi kita mengenai sesuatu di luar kendali kita. Contohnya yang sedang terjadi pada 2020 ini adalah virus corona—sesuatu diluar kendali manusia. Penyikapan yang positif cenderung melahirkan sesuatu yang positif pula. Seperti halnya kita dapat ibadah lebih sering, lebih aware akan kebersihan diri serta lingkungan, juga mengetahui pentingnya menjaga kesehatan tubuh. Emosi kita adalah tanggung jawab kita, apabila kita dapat mengendalikannya dengan baik maka kebahagiaan akan mengirinya.
Stoicism juga memberikan tips untuk dapat belajar mengontrol emosi dengan cara aktif dalam masyarakat. Sangat aplikatif bagi generasi muslim millennial untuk menghilangkan galau. Yaitu dengan lebih menyibukkan diri untuk hal yang lebih bermanfaat dan membawa pahala. Hal itu juga bisa menjadi cara jitu untuk lebih cepat move on, latihan problem solving, dan meningkatkan skill diri.
Dalam pembahasan etika stoa, rumusan cita-citanya yang ditulis oleh Copleston yaitu: “Cita-cita etika tercapai apabila kita mencintai semua orang sebagaimana kita mencintai diri sendiri, atau apabila cinta diri kita merangkul apa saja yang berkaitan dengan diri kita, termasuk manusia seluruhya, dengan kehangatan yang sama.” Kita dapat menemukan aspek humanisme disana. Hal ini juga sama dengan konsep kewajiban seorang Muslim yang salah satunya adalah untuk mencintai satu sama lain. Dengan itu, kehidupan antar manusia akan rukun, harmonis dan minim pertikaian yang berujung dengan ketenangan diri.
Manusia dengan akal budinya, menurut stoicism, adalah yang mengatur segalanya termasuk sejarah hidupnya sendiri. Dengan menjadi bijaksana dalam bertindak adalah keharusan bagi manusia apabila ingin menggapai cita yang luhur. Mencintai sesuatu akan berujung menjadi penerimaan diri terhadapnya, seperti halnya mencintai takdir Allah. hal itulah yang kemudian dapat menjadi sumber kebahagiaan baginya.
Oleh: Mar'atus Sholikhah
--- Mahasiswi Aqidah dan Filsafat Islam, Uin Sunan Ampel Surabaya

Komentar
Posting Komentar
Say salam and comments politely