![]() |
| Diambil dari: Pinterest |
Dari sini pula, eksistensialisme mendukung
kepastian akhir, bahwa keutamaan
eksistensiku sebagi penanda atas kesadaran diriku beserta obyek yang aku
ketahui. Eksistensiku sebagai makhluk yang berkesadaran terhadap segala upaya
untuk memaknai diriku ke esensi yang dikemukakan Plato ke mental Cartesian, ke
pembawa jiwa budayaku yang dikemukakan Hegel, kemekanisme neurologis ilmiah,
ataupun ketaraf jaminan sosialku.
Perhatian filsafat eksistensialisme pun juga
sempit, hanya berkutat pada eksistensi manusia, tidak memiliki filsafat alam,
ilmu pengetahuan, ataupun tentang ilmu-ilmu sejarah. Eksistensialisme hanya
berfilsafat mengenai manusia yang konkrit, mengenai manusia sebagai makhluk
yang berkesadaran.
Dalam hal ini, filsafat eksistensialisme
menawarkan sebuah metode untuk menuju eksistensi yang sadar. Jalan krisis atau
kesatuan adalah metode yang di ajukan oleh aliran ini. Krisis merupakan sebuah
kejadian secara tiba-tiba yang memberhentikan diri dari rutinitas keseharian.[2] Umpamanya
ketika seseorang jatuh pingsan. Dalam keadaan seperti itu seseorang tersebut tidak
sadar atas dirinya. Kemudia ia terbangun dan kembali sadar tersadar atas apa
yang telah terjadi pada dirinya. Namun ia tidak memiliki kesadaran saat sedang
terjadi kepingsanan pada dirinya.
Dalam keadaan inilah ia mendapatinya sebuah
kesadaran dari keterpingsanan bahwa ia telah pingsan. Sama halnya dengan
manusia, terkadang ia seolah-olah seperti pingsan. Maka dari itu ia harus
bangun dan sadar bahwa dirinya ini benar adanya dan bereksistensi. Dengan
demikianlah kesadaran dapat di peroleh dari jalan krisis.
Ada dua hal yang harus di pahami dalam
pengertian ini, bahwa eksistensi tidak dapat diungkapkan melalui panca indra,
karena persepsi panca indra tidak membawa menuju ke subyek berkesadaran.
Malahan menuju empirisme dan ini merupakan jebakan ilmiah. Dan jika melalui
akal pikiran, maka akan membawa ke arah rasionalisme, esensi, definisi, dan
argumentasi logis.
Kedua jalan tersebut adalah perangkap menuju
filsafat tradisional (esensial). Maka dari itu filsafat eksistensialisme tidak
menggunakan kedua cara tersebut. Ada cara lain untuk menuju makhluk yang
berkesadaran dan konkret yaitu melalui tema-tema baru dan asing seperti
kemuakan, kegelisahan, ketidakacuhan, kehampaan dan keaslian.[3]
Eksistensialisme lebih memusatkan diri pada
subyek bukan pada obyek. Hal ini terletak atas pengakuaan hal beradanya manusia
sebagai subyek yang bereksistensi dan berkesadaran. Sehingga subyektifitas
termuat dalam eksistensi yang berkesadaran dan tidak termuat dalam suatu sistem.
Akhirnya berkesimpulan bahwa pengatahuan tidak
akan terpisah dari pengetahuan subyek.
Dengan begitu, penganut eksistensialisme berkeyakinan bahwa pengalaman
subyektif adalah tumpuan kebenaran tentang hidup dan segala bentuk obyektifitas
dan impersonalitas adalah wajib ditentang yakni sebagi bentuk konsekuensi logis atas hal itu.
Maka jangan heran jika penganut eksistensialisme
menyekat daripada esensi dan eksistensi yang begitu hangat diperbincangkan kalangan
filosof. Bagus (dalam Yunus, 2011: 270)
menjelaskan bahwa eksistensi disini bermakna suatu kondisi aktual, yang terjadi dalam ruang
dan waktu; dan bereksistensi ialah
mewujudkan dirinya secara aktif, berbuat menjadi, dan merencanakan.[4]
Adapun esensi berarti suatu hal yang dapat
memperbedakan dari benda satu kebenda lainnya. Sesuatu yang memperlihatkan atau menjadikan benda tampak
apa adanya atau sesuatu yang dimiliki oleh benda-benda lainnya secara umum
itulah yang disebut esensi. Secara global esensi biasanya terletak pada lapisan
yang pertama, kemudia lapisan keduanya di isi oleh eksistensi. Namun pernyataan
inilah yang justru di tolak mentah-mentah oleh penganut eksistensialisme dan
mencoba membalikkan pernyataan tersebut sehingga eksistensi mendahului esensi.
Dalam usahanya, eksistensialisme berupaya untuk
menunjukkan sebuah fakta bahwa benda-benda tidak memiliki makna apapun tanpa
campur tangan manusia didalamnya, serta menunjukkan bahwa manusia memiliki
kebebasan tanpa tersistem oleh mekanisme teknologi, seperti ungkapan Sartre
“aku dikutuk untuk bebas”. Manusia menjadi titik sentrum dimana segala relasi
dapat terjadi karena subyektifitas dan pengalamannya.
Oleh karena itu, para filsuf Eksistensialis
berupaya mengembangan pemikirannya masing-masing, seperti Nietzsche yang
mengungkapkan bahwa “Tuhan Telah Mati”, kemudian konsep bereksistensi dalam
transendensi oleh Jaspers[5], lalu
ada Heidegger yang mengadakan pertanyaan-pertanyaan mengenai makna keberadaan
manusia melalui pertanyaan-pertanyaan metafisis-epeistemologis ke arah
ontologis.
Dari Heidegger, banyak mempengaruhi pemikiran
Jean Paul Sartre yang merupakan filsuf terkenal abad 20. Sartre membawa
almamater Eksistensialisme ke panggung dunia, sehingga dari pemikirannya banyak
mempengaruhi pola berpikir pada masa itu. Seolah ia menyuntikkan vaksin kepada
jiwa-jiwa manusia pasca Perang Dunia ke-2 yang meluluhlantakkan segalanya.
Menurutnya, manusia merupakan eksistensi yang
bebas yang memiliki kemauan untuk berkembang sebagai individu tanpa terbelenggu
masa lalu. Oleh sebab itu, Sartre mengatakan bahwa “human is condemned to be
free” yang artinya manusia dikutuk untuk bebas. Pada pandangan ini, masalah
kebebasan juga berkaitan dengan kehidupan yang otentik. Oleh karenanya, tidak
berlebihan jika disebut sebagai dua hal yang sangat mendasar dalam kehidupan
manusia.
Manusia pun diyakini oleh eksistensialisme
sebagai makhluk yang bebas dan kebebasan itu merupakan modal dasar untuk hidup
sebagai individu yang otentik dan bertanggung jawab.[6]
Pada masa ini lah justru eksistensialisme mencapai puncak perkembangannya,
tepatnya setelah perang dunia kedua.
Dari pandangan-pandangan tersebut, maka tidak
heran jika Sarte juga mengatakan bahwa eksistensi mendahului esensi. Jika
ditarik dalam kehidupan saat ini, memang benar bahwa seseorang yang hidup tidak
membawa esensinya. Akan tetapi, eksistensi yang akan membentuk esensi
seseorang, dapat dikatakan seperti apa nantinya setelah kematian menjemputnya.
Jadi esensi terletak di akhir hayat kehidupan seseorang, bukan malah
sebaliknya.
Misalnya seperti alm. Gus Dur yang merupakan
tokoh yang dianggap sebagai pahlawan kemanusiaan ataupun guru bangsa ataupun
bapak pluralisme. Pada masa hidupnya Gus Dur memang menunjukkan eksistensinya
seperti julukan-julukan yang di tujukan kepadanya, jadi secara otomatis
eksistensi Gus Dur tersebut membentuk esensi dirinya. Bahkan sampai saat ini
pemikiran-pemikirannya masih eksis dan melekat di hati para pecintanya.
[1] T.Z Lavine, Petualangan Filsafat Dari Socrates ke Sartre, terj. Andi
Iswanto dan Deddy Andrian Utama (Yogyakarta: Immortal Publishing dan Octopus,
2020), 394.
[2] Ibid, 396.
[3] Ibid, 397.
[4] Firdaus M. Yunus, “Kebebasan dalam Filsafat Eksistensialisme Jean Paul
Sartre”, Jurnal Al-Ulum, Vol. 11, No. 2 (Desember 2011), 270.
[5] Joko Siswanto, dkk “Bereksistensi dalam Transendensi Menurut Pemikiran Karl
Jaspers” Diskursus- Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyakarya, Vol. 16,
No. 2 (2017), 157.
[6] Zainal Abidin, Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), 34.

Komentar
Posting Komentar
Say salam and comments politely