![]() |
| Diambil dari: Pinterest |
Bismillahirrahmanirrahim..
Dawuhnya mbahyai Ihsan Jampes[1], semua
orang itu bisa makan pagi dan bisa makan sore. Jadi secara umum, Gusti Allah
telah menjamin urusan makan untuk seluruh makhluknya. Jika di Utopia dikatakan
kok mengalami kelaparan? itu karena azhabnya Gusti Allah. Padahal dulu disana
memiliki tanah yang sangat subur. Karena disana tidak ada yang taat lagi, maka
Gusti Allah menurunkan azhab tersebut dan akan kembali seperti semula jika
Gusti Allah telah mencabut azhabnya. Katanya mbahyai Ihsan, semua itu telah
terbukti selama 30 tahun, 40 tahun, atau bahkan 50 tahun semua makhluknya bisa
makan pagi dan sore. Dan orang yang kelaparan itu adalah orang yang anyih-anyih[2] terhadap
makanan, seperti hanya ada tempe tapi ingin ayam dan seterusnya.
Jika ingin menuju makrifat kepada Gusti Allah,
maka bertawakkallah. Dalam kitab Taurat juga dikatakan bahwa Malngunun min
tsiqatuhu insanun mistluhu, maksudnya adalah dilaknat oleh Gusti
Allah atau tidak diberi rahmat manusia yang percaya hanya kepada manusia yang lainnya,
akan tetapi tidak percaya kepada Gusti Allah.
Namun disini, tawakkal bukan untuk los-losan[3].
Termasuk orang yang bodoh bertumpuk-tumpuk adalah orang yang hanya bertawakkal
tanpa ikhtiar. Dawuhnya Kanjeng Nabi, orang yang beribadah dengan tekun, maka
rizkinya akan selalu dicukupi oleh Gusti Allah Subhanahu Wata’ala. Seperti para
Kiai dulu yang tidak bekerja sama sekali akan tetapi mendapat rizki yang tidak
tahu dari mana arahnya, min khaitsu laa yakhtasib. Sementara orang yang sibuk
bekerja dari siang hingga malam tanpa beribadah, maka Gusti Allah angkat tangan
dan dipasrahkan kepada dunianya sendiri.
Dulu pernah pada tahun 90-an di Lirboyo,
disurvei oleh para orang terpelajar untuk kebenaran hadits tersebut yang
mengatakan santri tidak memiliki masa depan, tidak memiliki penghasilan dan
sebagainya itu. Ternyata setelah disurvei keseluruh Indonesai hasilnya adalah 80%
orang yang hidupnya ayem tentrem dan kaya adalah dari kalangan santri dan 20%
berikutnya adalah dari kalang yang sibuk bekerja siang dan malam.
Doanya Kiai Mushonif agar kita diberi kekuatan
tawakkal kepada Gusti Allah itu begini orang yang ditakdir mau berdo’a kepada
Gusti Allah, maka berarti orang tersebut juga ditakdir untuk di ijabahi
do’anya. Logikanya adalah orang yang tidak mau bekerja, maka mau kaya dari mana?.
Dan jika ditakdir untuk bekerja, maka ada juga kesempatan untuk bisa kaya. Mpun
supe[4], Gusti
Allah juga memiliki sifat jawaz[5]
dan sifat jawaznya itu dapat mengalahkan takdirnya sendiri. Syekh Ibrahim ad-Dasuqi[6]
mengatakan, kalau ada orang yang ahli dzikir sungguhan disuatu daerah, maka
tidak akan datang wabah, balak atau bencana pada daerah tersebut. Maka dari itu
yang terpenting adalah ahli dzikir dan tawakkal akan mengikutinya. Orang yang
tawakkal belum tentu ahli dzikir, akan tetapi orang yang ahli dzikir sudah
tentu tawakkal.
Dulu pernah ada cerita dari kalangan jin,
bahwa pernah ada jin yang tidak sadarkan diri dan gila. Setelah ditelusuri ternyata
jin tersebut mendekati pak Kiai itu yang ahli dzikir.
Cara kedua untuk dapat wusul kepada Gusti
Allah adalah hilangkanlah rasa penuh khawatir. Orang yang penuh dengan rasa
khawatir, maka hidupnya tidak akan tenang dan susah baik didunia apalagi di
akhirat nanti yakni di zaman mustakbal. Jika ingin hidupnya tenang maka
hilangkanlah rasa khawatir, pasrahkan saja semuanya hanya kepada Gusti Allah. Cara
ketiga agar wusul kepada Gusti Allah adalah sabar.
Ada empat tingkatan rizki dari yang terendah
rendah hingga yang paling tinggi diantara adalah pertama rizki harta kekayaan
yang merupakan rizki yang paling rendah, kedua adalah rizki badan sehat
walafiat, ketiga rizki diberi anak sholih, dan kempat adalah rizki ridhanya
Gusti Allah.
Jadi jika ingin cepat wusul kepada Gusti Allah
adalah harus sabar, sabar itu adalah mengajak nafsu untuk menanggung beratnya
ibadah. Dan apabila nafsu itu merasa nyaman dengan ibadahnya maka itulah yang
disebut sabar. Dan sabar ketika tertimpa musibah, seperti yang terjadi saat ini
adalah wabah corona. Dan yang paling berat adalah sabar atas tidak melakukan
maksiat.
Jadi jika ingin seuatu dalam hal apapun adalah
sabar, baik dari segi masksiat maupun dari segi ibadah. Pengertian sabar
menurut ulama arif billah adalah orang yang melakukan alquran an hadisnya.
Salah satu pengertian ulama’ arif billah adalah ketika mendapat billah apapun
adalah tetap sabar dengan cara tetap bertatakrama kepada Gusti Allah. Menurut
satu pendapat sabar itu adalah sabar ketika diberi kaya, miskin, pinter, bodoh
dan lain sebagainya.
Adapun jenisnya sabar tapi tidak merubah sifat
sabarnya adalah wajhu syakwan. Yakni hanya wadul, seperti kisah sabarnya
Nabi Ayub yang ditimpa musibah diantaranya adalah tertimpa penyakit selam 18
tahun, mulai dari ketampanannya hilang dan kekayaannya diambil satu persatu
hingga anaknya yang 12 atau 10 dalam suatu riwayat mati semua. Semua kaumnya
pun meninggakan ajarannya kecuali tiga orang yaitu istrinya dan dua orang
saudara kandungnya.
Dalam sakitnya tersebut Nabi Ayub hanya wadul
kepada Guti Allah Massaniya Dhurri, Gusti kulo sakit. Kemudian Gusti Allah
menyuruh untuk menghentakkan kakinya ketanah maka dari situ muncullah sumber
air dan Nabi Ayub diperintahkan mandi di air tersebut. Akhirnya semua yang
telah diambil oleh Gusti Allah dikembalikan semuanya, mulai dari ketampanannya,
hartanya dan juga pula anak-anaknya, namun tidak dengan sekali jadi, melainkan
berproses sedikit-demi sedikit.
Menurut hujjatul Islam[7],
satu-satunya jalan untuk mengetahui hakikatnya ibadah untuk dapat wusul kepada
Guti Allah adalah betah sabar atas segala hal apapun. Karena dawuhnya Gusti
Allah yang telah di Nash adalah Innallaha manga shobirin.
Alhamdulillahirabbil ‘Alamin...
[1] Syekh Ihsan ibn Dahlan al-Jamfasi al-Kadiri al-Jawi (w. 1952) adalah
seorang ulama nusantara asal Jampes, Kediri, Jawa Timur yang mengarang kitab
“Sirajut Thalibin” yang merupakan komentar dan syarah (penjelasan) atas kitab
Tasawuf “Minhajul ‘Abidin” karangan Hujjah al-Islam al-Imam al-Ghazali.
[2] Pilih-pilih
[3] Tidak mengenal aturan
[4] Jangan lupa.
[5] Fi’lu kulli mumkinin aw tarkuhu, berwenang atas segala sesuatu.
[6] Syekh Ibrahim ad-Dasuqi adalah wali Quthub yang keempat dan
yang terakhir setelah Syekh Ahmad al-Badawi, Syekh Ahmad ar-Rifa’i dan Syekh
Abdul Qadir al-Jailani seperti yang telah diyakini oleh ulama tasawuf seperti
Syekh Mahmud al-Garbawi dalam kitabnya al-Ayatuzzahirah fi Manaqib
al-Awliya’ wal-Aqthab al-Arba’ah.
[7] Imam al-Ghazali

Komentar
Posting Komentar
Say salam and comments politely