Tantangan terbesar kita bukanlah takdir bukan
pula keterbatasan-keterbatasan lainnya, tapi kemalasam yang berada didalam diri
kita. Orang yang sukses itu jangan dikira karena takdirnya. Mereka juga
memiliki rasa malas, sama seperti kita. Tapi mereka pandai dalam menyikapi rasa malasnya. Mereka memilki
komitmen yang kuat, sehingga mengalahkan rasa malas merundung dalam pikirannya.
Mereka pasti berpikir jika hari tua nanti mau bagaimana jika tidak memiliki
apa-apa. Jika sakit pasti butuh uang yang tak sedikit, butuh obat kesana-
kemari. Apakah tidak malu jika hanya menunggu bantuan orang lain atau bahkan
saudara-saudara. Jika hanya mengandalkan anak, iya kalau anak memiliki cukup
uang. Iya kalau anak peduli dengan orang tuanya.
Sebenarnya bukan itu saja. Pemikiran yang
seperti itu adalah pemikiran yang dangkal. Kaya yang hanya untuk masa depan
duniawi, bukan untuk ukhrawi. Orang yang sukses adalah orang yang identik dengan
harta melimpah. Tapi, orang sukses belum tentu memiliki banyak harta. Sukses
itu biasanya berhubungan dengan keberhasilan. Dan keberhasilan berhubungan dengan pencapaian. Pencapaian
seseorang sangat bervariasai, bisa saja sukses dalam pendidikannya, pekerjaannya,
ataupun dengan karya-karyanya.
Harta kekayaan hanyalah imbas dari jerih payah.
Bukan untuk dikejar, tapi hanya sebagai bonus. Apalagi, berkerja keras disertai
niat karena Allah SWT. Pasti akan mendapatkan banyak bonus. Karena bekerja
adalah sama dengan ibadah. Niat bukan hanya sekali-dua kali, akan tetapi selalu
memperbarui niat ketika mau mengerjakan sesuatau. Karena Allah SWT menilai
hamba-hambanya dengan niatnya masing-masing. Sebagaiman dalam sebuah hadist
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
عَنْ أَمِيْرِ
الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: إِنَّمَا
اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ
هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ،
وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا
فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.
Artinya:
Dari
Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khattab radhiallahuanhu, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah
shallahu`alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya
setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia
niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan
Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa
yang hijrahnya karena menginginkan kehidupan yang layak di dunia atau karena
wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia
niatkan. (HR. Bukhari).
Jadi orang Islam itu harus kaya. tutur Gus
Baha’ dalam beberapa pengajiannya. Karena apa? Ya karena orang yang dermawan
itu orang yang kaya. Dalam Islam saja wajib membayar zakat ketika bulan
ramadhan. Dalam rukun Islam yang kelima pun juga ada ketentuan menunaikan haji
ke baitullah.
Dalam Islam juga ada anjuran bahwa tangan
diatas lebih baik dari pada tangan dibawah. Artinya adalah orang yang suka
memberi berarti lebih baik dari pada orang yang tidak memberi terlebih lagi
malah meminta-minta. Secara tidak langung tangan dibawah bukan berarti harus
mengemis, semua pemberian baik dari pemerintah, tetangga, saudara ataupun teman
itu semua termasuk kategori tangan dibawah. Maka dari itu jika kita kaya, maka
bisa memberi, beramal, berinfak, bersedekah dan lain sebagainya.
Terlebih Islam juga mengajarkan barang siapa
yang bersedekah Rp. 1000,00 saja maka akan dilipat gandakan menjadi Rp.
10.000,00. Dengan syarat harus ikhlas. Nah konsep ini sama dengan satu biji padi
yang ditanam disawah yang akhirnya akan tumbuh menjadi banyak. Tapi ingat, semua
yang kita sedekahkan tidak tentu kembali dengan barang yang sama jika sedekah
itu berupa uang atau apapun itu, bisa saja berupa pahala ataupun dijauhkan dari
takdir balak yang akan menimpa kita dimasa yang akan datang.
Kaya bukan berarti dapat menghalalkan cara
untuk mendapatkan itu. Semua ada caranya yang baik dan benar secara Islam. Ada hal
yang harus diperhatikan salah satunya adalah pekerjaan yang halal dan dengan
cara yang halal pula. Intinya semua itu ada konsekuensianya, ada pertanggung
jawabannya kelak. Mankanya, dari kerja halal-cara halal-digunakan dengan halal.
Misalnya: bekerja sebagai kuli bangunan (halal), bekerja sesuai prosedur tanpa
kecurangan apapun (halal), dan uang hasil bekerja di pakai untuk menafkahi
keluarga dan 5% dari uang tersebut disedekahkan (halal). Jangan malah
sebaliknya, uang gajian malah di pakai untuk berfoya-foya atau pun digunakan
untuk hal negatif lainnya.
Dan dalam hadist yang lain yang dapat membuat
kita semakin bersemangat dan juga dapat sebagai pedoman hidup adalah “Bekerjalah
untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya. Dan bekerjalah untuk
akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok”.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Komentar
Posting Komentar
Say salam and comments politely