Adorasi saban hari, terus engkau tuangkan dari palung kalbu.
Catur wulan kedua menjadi saksi buta, engkau membancang rahsa demi keluarga.
Engkau menanggung segala keluh, namun tak pernah terdayuh.
Sungguh kasihmu bagai pilau yang tak pecah belah didera ombak.
Engkau bunda membopong daku tanpa pilu,
Semerbak kasihmu memenjara mara bahaya yang gemar mendekatiku,
Tak jarang pula engkau merintih haru kepada bapakku,
“Kelak.. semoga jadi anak yang sholih ya pak..”
Lantas.. bolehkah daku membangkang perintahmu?
Sungguh hina dina melumuri atma jika demikian rupa.
Dan kini, engkau telah mendekati senja buana.
Tak sampai hatiku menaruh beban lara di hari-hari tua.
Terima kasih, atas segala kasihmu yang nyata pada atma.
Tak jua seracikpun daku membalas kasih cintamu yang bersahaja,
Meski daku bergelimang harta nan tahta.
Tetap saja, tak sanggup membayar segala cintamu wahai tirta amarta.
Adorasi saban hari terus engkau tuangkan dari palung kalbu.
Catur wulan kedua menjadi saksi buta, engkau membancang rahsa demi keluarga.
Engkau menanggung segala keluh namun tak pernah terdayuh.
Sungguh kasihmu bagai pilau yang tak pecah belah didera ombak.
Engkau bunda, membopong daku tanpa pilu,
Semerbak kasihmu memenjara mara bahaya yang gemar mendekatiku.
Tak jarang pula, engkau merintih haru kepada bapakku,
“Kelak.. semoga jadi anak yang sholih ya pak..”
Lantas.. bolehkah daku membangkang perintahmu?
Sungguh hina dina melumuri atma jika demikian rupa.
Dan kini, engkau telah mendekati senja buana.
Tak sampai hatiku menaruh beban lara di hari-hari tua.
Terima kasih, atas segala kasihmu yang nyata pada atma.
Tak jua seracikpun daku membalas kasih cintamu yang bersahaja,
Meski daku bergelimang harta nan tahta.
Tetap saja, tak sanggup membayar segala cintamu wahai tirta amarta.
Sidoarjo, 12/24/2020
Komentar
Posting Komentar
Say salam and comments politely