![]() |
| Diambil dari: Pinterest |
Mohammad Natsir terlahir dari rahim Khadijah pada 17 Juli 1908 di Jembatan Berukir Alahan Panjang, Solok, Sumatra Barat. Atau bertepatan pada hari Jum’at, 17 Jumadil Akhir 1936 Hijriah. Mohammad Idris Sutan Saripado adalah Ayah kandungnya yang merupakan seorang pegawai rendah dan pernah menjadi juru tulis di kantor Kontroler, Maninjau.
Di usia remaja, M. Natsir mengalami kehidupan yang begitu berat dan penuh dengan perjuangan. Akan tetapi, keadaan inilah yang menurutnya dapat menimbulkan kesadaran bagi dirinya. Kesadaran bahwa rasa bahagia tidak terletak pada kemewahan dan serba kecukupan semata. Rasa bahagia terletak pada kepuasan hati tanpa ada tekanan dan bebas. Berani mengatasi kesulitan-kesulitan hidup, tidak mengalah pada keadaan, tidak berputus asa dan percaya pada kekuatan dan kemampuan yang ada pada diri sendiri.
Atas pengabdiaannya pada dunia Islam, ia pun memperoleh penghargaan internasional dari beberapa negara seperti dari Tunisia dan Arab Saudi yakni Yayasan Raja Faisal (1980). Dalam dunia akademik pun ia juga menerima gelar sebagai Doktor Honoris Causa dari Universitas Lebanon (1967) dalam bidang sastra, dari Universitas Kebangsaan Malaysia dan Universitas Saint Teknologi Malaysia (1991) dalam bidang pemikiran Islam.
Pada usia ke-85, M. Natsir menutup sepak terjangnya dalam dunia pemikiran Islam melalui gerakan dakwahnya dan sekaligus menjadi hari duka se-Indonesia atas berita wafatnya pada 14 Sya’ban 1413 Hijriah (6 Februari 1993 M.), di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Berita ini menjadi tranding topic pada hari-hari itu di berbagai media cetak dan elektronik. Bahkan mantan Perdana Mentri Jepang yang diwakili oleh Nakadjima menyampaikan bela sungkawanya dengan ungkapan “Berita wafatnya M. Natsir terasa lebih dahsyat dari jatuhnya bom atom di Hirosima” (Zaini Ujang: 1993).
Dalam artikelnya yang berjudul “Sikap Islam terhadap Kemerdekaan berpikir, Tradisi, dan Disiplin” yang dimuat dalam Pandji Islam, April-Juni 1940, M. Natsir mencoba membuka ruang berfikir dan menempatkan posisi Islam terhadap kemerdekaan berpikir. Hal ini tampak pada beberapa ungkapan yang di lontarkannnya seperti “akal merdeka telah memerdekakan kaum Muslimin dari kekolotan yang membekukan otak dan akal merdeka telah melepaskan kaum Muslimin dari gedachte-indolentie dalam kemalasan berpikir”.
Dalam memperkuat argumennya, ia juga mencontohkan beberapa tokoh mutakallim yang karena akal merdeka pulalah dapat melahirkan orang-orang hebat seperti Fakhrudin Al-Razi yang menciptakan tafsir Al-Qur’an tetap up to date hingga sekarang, Al-Asy’ari yang berani membantah ajaran rasional Mu’tazilah dan keluar darinya, Imam Al-Ghozali, Ibnu Taimiyyah, Muhammad Abduh dan lain-lain.
Akan tetapi dalam satu tarikan nafas pula, M. Natsir juga mengingatkan bahwa “lantaran akal merdeka pula telah timbul ‘itikad pantheisme di kalangan ahli tasawuf. Lantaran akal merdeka yang tidak mau tahu dengan aturan-aturan pengambilan Qur’an dan hadits, terjadi pula membolak-balikkan makna Al-Qur’an dan Hadits itu sebagaimana yang cocok dengan si akal merdeka itu sendiri pula” (Lukman Hakiem: 2019).
Bagi M. Natsir, akal merdeka ibarat api yang mungkin berbentuk lampu yang gemerlapan memimpin kita dari gelap gulita kepada terang-benderang, tetapi sering kali mungkin pula ia menyala berkobar-kobar menyiar-bakar rumah atau gedung, melicintandaskan apa yang ada. Agama datang membangunkan akal dan membangkitkan akal itu, serta menggemarkan agar manusia memakai akalnya dengan sebaik-baiknya sebagai suatu nikmat Ilahi yang maha indah.
Agama Islam akan hanya ada jasadnya saja dan rohnya hilang apabila akal merdeka dibiarkan merasionalisasikan agama tanpa mengenal batas, melepaskan semua kriterium, dan melepaskan semua ukuran keagamaan serta berhakim kepada diri sendiri atau berhakim kepada riwayat atau berhakim kepada histori semata-mata.
Seperti kasus Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pada pekan lalu yang dilansir Portal Sulut.com – Jum’at 28 November 2020 sekitar pukul 08.00 WITA, kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora menyerang permukiman warga transmigrasi dan membunuh empat orang serta membakar beberapa rumah di Dusun Lima Lewonu, Desa Lemban Tongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi.
Kasus tersebut jelas sudah merupakan tindak kriminal yang diusung dari persoalan agama-dipahami dengan bebas makna yakni menggunakan akal merdeka tidak sesuai degan kriteria agama. Kasus lain pun juga turut berdatangan seperti banyak beredar video adzan bersama jama’ah yang membawa pedang dan celurit. Parahnya lagi, hayya ‘ala shola di ganti dengan hayya ‘ala jihad.
Dengan tegas M. Natsir berkata bahwa “yang dihajatkan manusia ialah suatu agama yang agama itu menjadi kriterium, menjadi hakim, menjadi ukuran absolut, menentukan apakah segala sesuatunya benar atau salah. Disini terletak keperluan kita kepada agama.” Dengan ini tersirat bahwasannya agama menjadi sebuah patokan-patokan atas akal merdeka.
Wallahu a'lam bishawab.

Komentar
Posting Komentar
Say salam and comments politely